Dalam
soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur
sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh
sejumlah kelompok Islam radikal. Menurut Gus Dur, satu-satunya alasan
penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum
Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim).
Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya
diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri
tidak terancam. Tidak tanggung-tanggung, kecaman Gus Dur dialamatkan
kepada kelompok-kelompok Islam "garis keras" yang beberapa waktu lalu
sering unjuk rasa dengan membawa pentungan, pedang, celurit, atau bahan
peledak lain hingga mereka yang melakukan sweeping terhadap warga asing
(terutama AS) dan kafe-kafe minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau
radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para
penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan
alienasi karena "ketertinggalan" ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan
penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan
mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya
mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan
penetrasi Barat.
Kedua, kemunculan kelompok-kelompok
Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan
agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya.
Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat
dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri
dari mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan
ekonomi.
Latar belakang seperti itu
menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matematik dan
ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara
mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang
didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau
hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadits dalam jumlah
besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi
ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang
ada, kaidah-kaidah ushulfiqh, maupun variasi pemahaman terhadap
teks-teks yang ada.
Pandangan Gus Dur tersebut di atas,
sebenarnya tertuju kepada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama
bisa dikategorikan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya
pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap
kebangkitan neo-fundamentalis Islam. Rahman menilai, keberadaan
neo-fundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah
memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu
sendiri. Ini karena neo- fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit
yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual
karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan
apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan
alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok
neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti
intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh Al Qur'an dan
budaya intelektual tradisional Islam. Bagaimana pun pengamatan Gus Dur
dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar