Jumat, 14 Maret 2014

Islam Radikal dan Pendangkalan Agama



Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal. Menurut Gus Dur, satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam. Tidak tanggung-tanggung, kecaman Gus Dur dialamatkan kepada kelompok-kelompok Islam "garis keras" yang beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pentungan, pedang, celurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafe-kafe minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena "ketertinggalan" ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan penetrasi Barat.
Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi.
Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushulfiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.
Pandangan Gus Dur tersebut di atas, sebenarnya tertuju kepada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap kebangkitan neo-fundamentalis Islam. Rahman menilai, keberadaan neo-fundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neo- fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh Al Qur'an dan budaya intelektual tradisional Islam. Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.
sumber: sarkub.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar